Jumat, 19 September 2014

Polri – Ombudsman Perpanjang Nota Kesepahaman

Jakarta, Metropol - Kerjasama Polri dan Ombudsman mengenai penyelesaian laporan dan pengaduan masyarakat, dalam rangka menjalankan ketentuan Undang-undang No 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI.

Ketentuan itu yang diatur dalam pasar 44 UU No 37 tahun 2008, sesuai pasal 44, dengan isi, setiap orang yang menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Sejatinya kata Kapolri, Polri bersedia memberikan pendampingan, bahkan memidanakan siapapun yang menghalang-halangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan. Tentunya dalam rangka kerjasama. 
“Jadi kalau Polri melakukan penegakan hukum terhadap pasal 44 adalah menjalankan Undang-undang. Jangan disebut mengkriminalisasi. Kerjasama, sekaligus bantuan teknis Polri terhadap Ombudsman, apabila ada saksi atau terlapor yang diundang atau dipanggil, tapi tidak datang ada ancaman pidananya,” kata Kapolri.

Jadi dalam kerjasama ini mengatur kesepakatan yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Ombudsman dan Polri, dalam menjalankan tugas, seperti bantuan teknis dari kepolosian untuk menghadirkan terlapor atau saksi secara paksa. Apabila terlapor atau saksi tersebut tidak memenuhi panggilan Ombudsman selama tiga kali berturut-turut.

Kapolri mengatakan, dalam kondisi seperti ini, Polri akan menyiapkan sepenuhnya bantuan teknis untuk mendapingi Ombudsman. 

“Seandainya dalam pemanggilan itu dikuatirkan akan terjadi perlawanan dan menimbulkan masalah, baru kita dampingi. Tapi bukan kita yang membawa. Itu melanggar undang-undang. Tapi kalau sudah tiga kali berturut-turut, tidak hadir, mungkin Ombudsman melaporkan kepada kami,” tegas Sutarman.

Terkait kerjasama bantuan teknis, Danang menyatakan walau bantuan teknis Polri tidak dapat dilakukan sebagaimana layaknya pemanggilan paksa dalam upaya penyidikan, setidaknya aparat kepolisian dapat memberikan pendampingan bagi petugas Ombudsman dalam rangka menghadirkan terlapor atau saksi.

Atas dasar itu, kerjasama yang sudah lima tahun berlalu, Polri dan Ombudsman membuka kembali lembaran baru itu. Danang mengatakan, “sebelumnya pada tahun 2011, masa berlakunya habis. Danang menganggap perpanjangan MoU sangat penting. Mengingat selama kurun waktu lima tahun terakhir, pelayanan kepolisian menempati posisi kedua institusi yang paling banyak dilaporkan masyarakat,” ujarnya.

Data statistik Ombudsman, hingga pertengahan tahun 2014, Ombudsman menerima 3021 aduan masyarakat. Dari laporan tersebut 390 laporan diantaranya adalah laporan yang terkait pelayanan kepolisian. Total laporan yang terkait dengan kepolisian dalam kurun waktu 2009 – 2014 mencapai 2365 laporan. 

Sumber Ombudsman mendata tahun 2009 – 2014, laporan keseluruhan sebanyak 15462. Dan laporan terkait kepolisian 2365.

Data statistik tersebut, Danang mengharapkan kepolisian menggaungkan reformasi birokrasi di semua lini. Mulai dari tingkat daerah sampai tingkat pusat. Ia juga berharap institusi kepolisian menjalankan reformasi birokrasi dengan lebih baik. Sehingga benar-benar mengedepankan kualitas pelayanan publik. 

Sementara, Kapolri Sutarman menyambut baik penandatangan MoU. Ia menyatakan Ombudsman merupakan salah satu lembaga pengawas. Khususnya bagi lembaga yang memiliki fungsi pelayanan masyarakat guna menciptakan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Ia membenarkan Polri sebagai institusi yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat, memiliki banyak instrumen pelayanan, mulai dari pelayanan yang terkait aspek penegakan hukum hingga pelayanan-pelayanan lain, seperti SIM, STNK, BPKB, SKCK, izin keramaian, dan izin kepemilikan senjata api.

Sepanjang tahun 2012, Polri telah memberikan 54.353.222 pelayanan kepada masyarakat, baik pelayanan yang terkait penegakan hukum maupun pelayanan terkait pelayanan lain. Pelayanan itu meningkat di tahun 2013 menjadi 57.927.067. Namun, menurut Sutarman, masih ada masyarakat yang merasa tidak puas dengan pelayanan Polri.

“Dari complain-complain yang paling banyak complain terkait penegakan hukum. Mulai dari orang membuat laporan, karena laporannya mungkin perdata dan tidak masuk kualifikasi tindak pidana, jadi tidak diterima. Lalu, ada yang sudah buat laporan, tapi laporannya lama dan tidak selesai-selesai. Itu juga pasti tidak puas,” ujarnya.

Sutarman menyadari, dalam memberikan pelayanan, masih ada hal-hal yang dirasa kurang pas oleh masyarakat. Ia berkomitmen untuk segera menyelesaikan laporan-laporan itu, sehingga masyarakat menjadi terpuaskan. Di lain pihak, ada beberapa hal yang harus diluruskan karena adanya perbedaan persepsi di masyarakat.

Misalnya, dalam pembuatan laporan ke kepolisian. Ada kalanya, masyarakat melaporkan suatu peristiwa yang mereka anggap sebagai tindak pidana, padahal sebenarnya bukan tindak pidana, melainkan perdata. Laporan itu tentu tidak akan ditindaklanjuti karena masalah perdata bukan merupakan domain kepolisian.

Kemudian, mengenai laporan masyarakat yang tidak puas karena ditetapkan sebagai tersangka. Sutarman menjelaskan, dalam penetapan tersangka, ada beberapa persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi. Penyidik harus memiliki sekurangnya dua alat bukti dan penetapan tersangka itu harus melalui gelar perkara.

Dalam gelar perkara, semua pihak terkait dihadirkan, termasuk ahli. Mereka akan menilai secara komperhensif dan transparan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Apabila perkara itu didukung dua alat bukti, penetapan tersangka sudah memenuhi prosedur dan orang itu harus bertanggung jawab secara hukum.

Apabila penetapan tersangka tidak dilakukan sesuai persyaratan dan prosedur yang benar, penyidik harus membatalkan atau menghentikan penyidikan. Sutarman mengungkapkan, untuk mengawasi proses tersebut, Polri memiliki tim audit investigasi. Jika penyidik terbukti melakukan penyimpangan, tentu ada proses disiplin dan kode etik profesi.

“Kalau perlu, tim dari Ombudsman nanti ikut bersama-sama kami. Kami akan membuka. Begitu ada laporan, bukan hanya kami jawab, silakan kita gunakan forum gelar perkara, khususnya yang terkait dengan masalah-masalah penegakan hukum yang dilakukan Polri, sehingga masalahnya menjadi jelas,” tuturnya.

Namun demikian, Sutarman berjanji akan melakukan pembenahan semaksimal mungkin. Namun, masyarakat juga harus diberikan pemahaman. “Ini jadi pembelajaran bagi institusi Polri, masyarakat, dan siapapun. Kalau memang dia benar-benar salah, dia harus bertanggung jawab secara hukum,” ujarnya. (Delly M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar