Minggu, 02 November 2014

Pecandu Narkoba Harus Ditangani Secara Humanis

Jakarta, Metropol - Politik hukum negeri ini menyatakan dengan jelas, bahwa penyalah guna narkoba idealnya ditangani dengan cara rehabilitasi. Meski demikian, dalam praktek hukumnya, masih banyak benturan dan kendala sehingga penyalah guna narkotika masih ada yang bermuara di balik jeruji besi.

Menanggapi hal ini, Kepala BNN, DR Anang Iskandar mengungkapkan, toleransi dari penegak hukum menjadi kunci penting dalam penanganan penyalah guna narkoba yang ideal sesuai dengan amanat UU No. 35/2009 dan  Peraturan Bersama. Dan harus ditangani secara humanis agar kondisinya tidak lebih parah dan liar.

Bentuk toleransi ini bisa diwujudkan dengan komitmen penegak hukum, terutama penyidik dalam menjalankan amanah Perber, yaitu asesmen terpadu terhadap penyalah guna narkotika. Dalam hal ini, penyidik memintakan asesmen kepada tim asesmen terpadu untuk penyalah guna narkotika yang baru ditangkap.

Selain itu, langka pelayanan kesehatan dan penanganannya perlu diberikan perhatian agar pihak pecandu dapat disembuhkan karena dasar itu sebagai jaminan pengaturan bagi rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalagunaan narkotika.

“Langkah ini penting untuk ditempuh agar bisa membuktikan si penyalah guna narkoba ini  hanya penyalah guna murni atau penyalah guna yang merangkap pengedar dan bandar. Selain itu, melalui asesmen terpadu inilah kadar ketergantungan orang tersebut dapat diukur,” ungkap Kepala BNN, saat menghadiri Focus Group Discussion yang digelar Kelompok Ahli BNN dengan tajuk “Politik Hukum VS Praktek Hukum Dalam Menangani Permasalahan Narkoba di Indonesia”, di Gedung Pasca Sarjana UI, Jumat (31/10/2014).

Dalam konteks penghukuman, pada dasarnya bisa saja para penyalah guna narkotika ini pada akhirnya mendekam di penjara, mengingat UU 35/2009 menganut double track system pemidanaan.  Namun dengan toleransi yang ada, dari mulai proses penyidikan, penuntutan hingga pengadilan, semua penegak hukum memiliki persepsi yang sama dan reorientasi kemanusiaan sehingga pada akhirnya sang penyalah guna berakhir di pusat rehabilitasi. “Faktanya, penjara tidak memberikan efek jera dan tidak menyelesaikan masalah, sedangkan rehabilitasi bisa kembali memberikan secercah cahaya bagi mereka (para penyalah guna-red) untuk kembali pulih dan menata hidupnya,” jelas Anang.

Terkait rehabilitasi, Prof. Surya Jaya, Hakim Agung MA sangat setuju menjadi pilihan yang lebih baik untuk para penyalah guna narkotika murni ketimbang pemenjaraan. Bahkan ia berpendapat agar rehabilitasi ini bukan hanya diberikan pada pecandu yang sudah parah, tapi juga penyalah guna yang baru coba-coba.

Agar politik hukum UU 35/2009 ini jelas berorientasi pada penyelamatan penyalah guna narkoba, Surya juga menyarankan agar dalam pasal 127 tidak lagi memuat ancaman maksimal hukuman pidana penjara empat tahun, tapi cukup satu tahun untuk hukuman rehabilitasi. 

Sedangkan Wisnu Subroto memaparkan menyetujui penyalagunaan narkotika perlu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Karena mereka juga korban atau bisa disebut diperdaya, ditipu, dipaksa atau diancam. Rehabilitasi kata Wisnu suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu. “Baik fisik maupun sosial, agar nanti dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat,“ ungkap Wisnu Subroto, Kelompok Ahli BNN Bidang Hukum dan Perundang-undangan. (Deni M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar