JAKARTA, METROPOL - Kondisi kehidupan Pers semakin kontradiktif, dalam menjalaninya, disatu sisi kita menikmatinya, dari sisi lain kemerdekaan pers ada ancaman. Namun apapun yang terjadi, suatu perbedaan pendapat, kemerdekaan pers tidak boleh di korbankan. Perbedaan pendapat bisa dikemukakan dengan menjunjung tinggi kode etik pers.
Menurut Ketua Dewan Pers Bagir Manan, dalam diskusi bertajuk, “Solidaritas Pers Indonesia Untuk Kekerasan Terhadap Wartawan di Timur Tengah,” di Jakarta baru-baru ini, mengatakan, “ada tiga opsi yang mengancam kebebasan pers, yaitu sistem kekuasaan otoriter, masyarakat atau sekelompok orang yang merasa terganggu dengan adanya kebebasan pers, dari dalam pers itu sendiri,” ungkap Bagir Manan.
Diskusi ini untuk memperingati. “Hari Pers Sedunia” yang setiap tanggal 3 Mei di peringati, di hadiri Bagir Manan, juga tampil pembicara Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, Sabam Siagian, Pemimpin Redaksi Kompas, Rikard Bangun dan di moderatori oleh Anggota Dewan Pers, Wisnu Armada Sukardi.
Dalam pemaparan Bagir Manan, menjelaskan, gejala kekerasan terhadap pers di kuatirkan sebagai pelampias frustasi masyarakat atas persoalan sosial politik-ekonomi, disamping lemahnya hukum. Yang mengakibatkan seringnya terjadi kekerasan terhadap insan pers.
Situasi ini, dalam kebebasan pers di Indonesia, terkait dengan tindak kekerasan terhadap wartawan saat melakukan peliputan atau terkait dengan liputan, masih perlu mendapat perhatian kata Sabam Siagian.
Namun disisi lain solidaritas pers regional dan global, Rikard Bangun melihat, harus di mulai dari internal. “Solidaritas kita mengendur dan konsolidasi kedodoran, kekompakan belum terbangun. Ancaman terhadap solidaritas dan profesi wartawan berasal dari pemerintah, masyarakat seperti dunia usaha, pers sendiri, dan arus perubahan,” ungkapnya.
Lebih jauh Rikard Bangun mengemukakan, ancaman pers biasa juga terjadi dari masyarakat, karena hukum yang rapuh, sehingga orang bisa main hakim sendiri. Bisa juga dari pers sendiri, terkait dengan perilaku industri pers. Sebagian dari kita tidak bisa membedakan mana sensasi dan mana substansi,” imbuhnya.
Melihat kondisi ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mencatat, ada 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak Mei 2010 sampai 2011. Sebagian kasus tersebut tidak di usut secara hukum atau proses hukumnya terhenti. Seperti kasus penusukan reporter VIVAnews.com di Jayapura, Banjir Ambarita, dan kasus baru pertengahan 2011, pemukulan wartawan Surat Kabar Mingguan “Metropol” oleh oknum TNI Angkatan Laut di Jakarta Utara. Hanya beberapa kasus yang terselesaikan, yaitu penganiayaan wartawan “Solo Pos” oleh Komandan Kodim Karanganyar.
Catatan Word Press Freedom Index yang di terbitkan Reporters Without Borders 2010, menempatkan Indonesia pada rangking ke-117, sebuah posisi kategori “Merah”. Posisi ini turun ke-100 pada 2009 dan ke-111 pada 2008. Situasi ini juga terjadi di Afrika Utara dan di Timur Tengah. The Committee to Protect Journalist (CPJ), mencatat sebanyak 80 kasus kekerasan terhadap wartawan. Libya merupakan urutan pertama paling mematikan versi CPJ tahun 2011. (Delly. M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar