Sabtu, 14 Juli 2012

”Pengawasan Hakim Dalam Perspektif Filsafat Pancasila Dan Implementasinya Dalam Lembaga Peradilan Indonesia”

Sebuah Desertasi untuk meraih gelar Doktor
Oleh;
DR. Drs. H. Sirajuddin Sailellah, SH,. M.HI

1.    Pengertian dan Perkembangan Pengawasan Hakim di Indonesia.

Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/080/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan menggariskan sebagai berikut;

“Pengawasan merupakan salah satu fungsi pokok manajemen untuk menjaga dan mengendalikan agar tugas-tugas yang harus dilaksanakan dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan rencana dan aturan yang berlaku” (Mahkamah Agung RI, 2007: 1).

Hakim yang dimaksud adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung termasuk di dalamnya hakim adhoc dari empat lingkungan peradilan, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut (Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009).

Pengertian pengawasan dan hakim di atas memberikan pemahaman bahwa pengawasan hakim berupaya membetulkan kesalahan arah tugas dan fungsi hakim dan karena itu harus dikembalikan pada jalur yang benar. Pengawasan hakim memeriksa apakah pekerjaan yang dilaksanakan hakim telah sesuai dengan arah tujuan yang sudah ditetapkan. Tiga aspek yang menjadi target pengawasan tingkah laku hakim meliputi; 1) aspek kelembagaan; 2) aspek substansi atau acuan yang dipergunakan untuk melakukan pengawasan; dan 3) aspek metode atau mekanisme kerjanya (Mahkamah Agung dan USAID, 2003: 90).

Sejarah berdirinya Mahkamah Agung tidak dapat dilepaskan dari masa penjajahan di Indonesia. Terbukti, hukum di Indonesia sebagian besar belum dapat meninggalkan hukum yang ditinggalkan oleh Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris serta terakhir oleh Pemerintah Jepang. Oleh karena itu perkembangan peradilan di Indonesiapun tidak luput dari pengaruh penjajahan selama kurun waktu tersebut.

Hampir semua daerah-daerah jajahan Belanda yang diduduki oleh Inggris setelah peperangan di Eropa berakhir dengan jatuhnya Kaisar Napoleon, dikembalikan kepada negeri Belanda, sebagaimana digambarkan dalam Conventie London 1914. Penyerahan kembali pemerintahan Belanda tersebut diatur dalam St.1816 No.5. Dengan St. 1819 No.20 berisi ketetapan bahwa akan dibuat Reglement yang mengatur acara pidana dan acara perdata yang berlaku bagi seluruh Jawa dan Madura, kecuali Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya.

Pada jaman pendudukan Jepang, badan kehakiman ter¬tinggi disebut Saikoo Hooin yang kemudian dihapuskan pada tahun 1944 dengan Osamu Seirei (Undang-Undang) No. 2 tahun 1944 sehingga segala tugasnya dilimpahkan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi).

Ti¬dak terdapat badan kehakiman yang tertinggi pada saat berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia. Satu satunya ketentuan yang menunjuk ke arah badan kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Keluarya Penetapan Pemerintah No. 9/S.D. tahun 1946, maka ditunjuk kota Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan tersebut merupakan penunjukan tempat saja. Penetapan Pemerintah tersebut pada alinea II berbunyi; “baru dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1947 ditetapkan tentang susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947”.

Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), untuk seluruh wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS) ada satu Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai Pengadilan Tertinggi, sedang Badan-Badan pengadilan lain menjadi urusan masing-masing negara Bagian. Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung Republik Indo¬nesia Serikat adalah Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (I-N. tahun 1950 No. 30) yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.

Pada masa setelah lahirnya Komisi Yudisial dibentuklah Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) pada tahun 1968. MPPH berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.

Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.

Salah satu persoalan yang harus mendapat perhatian dalam rangka revisi Undang-Undang Komisi Yudisial adalah menyangkut pengawasan. Sebagaimana dikutip oleh Muchsan (2000: 36), pengawasan menurut Terry; Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply corrective measure, if needed to insure result in keeping with the plan.

Pengertian tersebut menampakkan pengawasan yang dititikberatkan pada tindakan evaluasi serta koreksi terhadap hasil yang telah dicapai, dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan rencana. Dengan demikian tindakan pengawasan ini tidak dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan, akan tetapi justru pada akhir suatu kegiatan, setelah kegiatan tersebut menghasilkan sesuatu. Newman menyebutkan; Control is assurance that the performance conform to plan (Muchsan, 2000: 37).

2. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat dan Fungsinya Sebagai Dasar Keilmuan Pengawasan Hakim di Indonesia

Pancasila sebagai sistem filsafat di dalamnya memuat nilai-nilai dasar manusia baik yang menyangkut keberadaannya maupun tindakannya. Nilai-nilai dasar merupakan nilai-nilai kodrat yang melekat pada setiap manusia. Manusia sebagai makhluk monopluralis adalah ciptaan yang tunggal tetapi terdiri dari berbagai unsur dan aspek. Manusia tersusun dari jasmaniah maupun rohaniah, menurut kedudukannya merupakan makhluk yang mandiri dan sekaligus sebagai makhluk ciptaan yang tergantung pada Tuhan sebagai penciptanya. Manusia memiliki sifat yang individual dan sekaligus sosial (Notonagoro, 1975: 12-13).

Lima sila dari Pancasila berasal dari nilai-nilai bangsa dan rakyat Indonesia, yang harus diaktualisasikan dengan mendasarkan pada aspek prikemanusiaan dan prikeadilan sebagai dasar untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam pembangunan nasional.

Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar dan ideologi negara yang tidak dipersoalkan lagi bahkan sangat kuat, harus dijadikan paradigma (kerangka berpikir, sumber nilai, dan orientasi arah) dalam pembangunan hukum, termasuk upaya pembaharuannya.  Pancasila sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya; sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial politik dimana hukum menjadi salah satu alatnya dan karenanya juga harus bersumber darinya (Attamimi, 1992: 62).

Kajian terhadap hakikat pengawasan hakim dengan pendekatan filsafat  Pancasila memerlukan pendekatan keilmuan dan analisis budaya. Pendekatan analisa budaya secara khusus berusaha untuk memahami sesuatu objek, tidak dengan melalui kacamata yang asing. Pendekatan itu tidak berarti mengamati dari luar, tapi dari dalam. Tidak secara memahami secara umum saja, tapi menghormati kekhususan dan keunikan masing-masing.

3. Pengawasan Hakim dalam Konteks Profesi dan Institusi Peradilan di Indonesia.

Profesi hakim merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus maupun intelektual. Profesi ini menuntut pengetahuan dan tanggungjawab yang sangat besar, diabdikan untuk kepentingan orang banyak, tempat para pencari keadilan berharap kepastian hukum. Hakim sebagai pejabat negara yang diangkat oleh Presiden sebagai aparat pelaksana kekuasan kehakiman. Dalam menjalankan profesi ini setiap hakim harus memahami kode etik.

Terdapat dua alasan (kategori alasan) utama untuk memberi tindakan disiplin pada perilaku seorang anggota profesi hukum (tentunya termasuk hakim) dengan mengacu pada hal di atas, yaitu; a) perilaku yang mengingkari moral (morally wrong); dan b) perilaku yang sangat tercela dan menghina profesi hakim, sehingga yang bersangkutan tidak pantas lagi menjadi hakim (unworthy to continue as a judge) (Drinker,1954: 42-45).

Hakim tidak diperbolehkan menolak perkara sebagaimana penegasan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan; “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa ,mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Hakim harus memeriksa dan memutus perkara tersebut dengan melakukan penemuan hukum (interpretasi), bahkan kalau perlu menggunakan kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis sebagaimana penegasan Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009  yang menyatakan; “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Hakim dengan inisiatif sendiri, pertimbangan sendiri menemukan hukum dan memutus perkara yang dihadapi. Untuk mengatasi kekosongan hukum, hakim dalam mengadili perkara mempunyai tiga fungsi yaitu; 1) hakim sebagai corong Undang-Undang; 2) hakim sebagai penerjemah Undang-Undang dengan interpretasi; dan 3) hakim menggunakan inisiatif sendiri (pertimbangan sendiri) secara otonom (Wiarda, 1999: 14).

Di antara para penegak hukum yang lainnya, posisi hakim adalah istimewa. Hakim adalah kongkritisasi hukum dan keadilan yang abstrak, bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun beberapa dekade terakhir, bahkan setelah sepuluh tahun reformasi berjalan, profesi hakim mendapatkan gugatan dari berbagai elemen masyarakat karena dianggap hakim masih sering menggadaikan profesionalitasnya untuk kepentingan sesaat dan jangka pendek.

Pengadilan di Indonesia, dalam kaitannya dengan fungsi kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang bebas (independence of judge), menganut suatu aliran yuridis-idealisme yang mengajarkan bahwa di dalam mengolah sesuatu ketentuan dari sesuatu Undang-Undang. Tidak boleh berpegang hanya pada apa yang ada dalam Undang-Undang saja (seperti yang diajarkan oleh aliran yuridis-positivisme), tetapi harus memperhatikan jiwa yang menguasai tata hukum yang memberlakukan Undang-Undang itu (Koesnoe, 1996; 21).

Dikemukakan oleh Asshiddiqie (2006: 53-56), terdapat enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, sebagaimana tercantum dalam The Bangalore Principle, yaitu;

a.    Independensi (Independence Principle), yaitu jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum.

b.    Ketidakberpihakan (Impartiality Principle) adalah prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya.

c.    Integritas (Integrity Principle) merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya.

d.    Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Principle) adalah norma kesusilaan pribadi dan norma kesusialaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan.

e.    Kesetaraan (Equality Principle) merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik ataupun alasan-alasan yang serupa.

f.    Kecakapan dan Keseksamaan (Competence dan Diligence Principle) merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan kesamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.

Kebebasan hakim dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan lainnya. Hakim adalah manusia biasa yang dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya tidak akan terlepas dari berbagai kepentingan dan pengaruh sekelilingnya, termasuk kepentingan pribadi, kepentingan keluarga dan sebagainya.

4. Hakikat Pengawasan Hakim dan Pengaruhnya terhadap Lembaga Peradilan Indonesia

Notonagoro (1975: 14) menyatakan terdapat hakikat dan sifat pada tahapan manusia. Hakikat tidak dapat akan terwujud jika tidak disertai sifat. Hakikat dan sifat selalu berhubungan, hakikat tanpa sifat tidak terwujud, demikian juga sifat tanpa hakikat tidak akan ada. Secara metafisis hakikat dibedakan menjadi tiga yaitu; hakikat abstrak, hakikat pribadi, hakikat kongkrit. Hakikat abstrak merupakan kesatuan unsur-unsur dasar yang bersama-sama menyatakan halnya tentang konsep kesatuan ada terdiri atas unsur jenis dan unsur pembeda munculnya hakikat manusia adalah makhluk yang berakal. Hakikat abstrak ini disebut juga hakikat jenis.

Secara ontologis, nilai kemanusiaan yang merupakan sifat hakikat abstrak umum universal yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lain. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan kerakyatan dan keadilan merupakan sifat hakikat manusia. Jika tidak berketuhanan bukanlah manusia. Jika tidak berkemanusiaan juga bukan manusia, jika tidak berkerakyatan atau berkekeluargaan juga bukan manusia. Serta jika tidak berkeadilan juga bukan manusia.

Sepatutnya bila hakikat hakim selaku penegak hukum memiliki sifat dan hakikat manusia yang memahami Pancasila secara integral agar disetiap perilaku dan tindakannya tercermin keluhuran nilai-nilai Pancasila, sehingga secara natural terwujud  karakter yang berperilaku luhur, sehingga seorang hakim tidak akan  melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Dari aspek epistemologi, ilmu hukum menurut hakikatnya berusaha untuk menampilkan hukum secara integral. Metode ilmu hukum harus bersifat integral pula. Ilmu hukum pada waktu sekarang sering membedakan antara metode normatif, metode sosiologis dan metode filosofis. Metode penemuan hukum (rechtsvinding) bukan metode ilmu hukum karena metode penemuan hukum hanya dapat dipergunakan dalam praktek hukum. Penentuan penggunaan metode sosiologis dan metode filosofis tergantung pada kadar atau intensitas kaidah yang diteliti, sebab tidak semua kaidah memerlukan analisa baik filosofis maupun sosiologis.

Pengertian Pancasila yang ditempatkan sebagai satu kesatuan (sistem filsafat), secara aksiologis dimaksudkan agar tidak menimbulkan pengertian yang lain atau keliru terhadap Pancasila. Dengan demikian apabila sila kemanusiaan dibicarakan misalnya, maka pembicaraan sila ini baru akan bermakna dan aktual apabila dikaitkan dengan sila yang mendahuluinya dan yang kemudian sehingga mencerminkan adanya hubungan yang tiada terputus.

Nilai kemanusiaan sebagai bagian dari nilai-nilai Pancasila, jika dikaitkan dengan pengawasan hakim, seyogyanya ditempatkan oleh hakim untuk mencerminkan setiap perilaku hakim sehingga menegakkan nilai filosofis dari kemanusiaan yang bermartabat.

Pancasila sebagai sebuah sistem filsafat mendapatkan maknanya bagi Bangsa Indonesia melalui manusia Indonesia sebagai pendukung. Hal ini sesuai dengan pandangan (Notonagoro, 1971: 13), yaitu bahwa manusia menjadi pendukung atau subjek dari pada sila-sila Pancasila. Maka manusia menjadi dasar kesatuan daripada Pancasila, dengan kata lain dalam Pancasila tersimpul hal-hal yang mutlak daripada manusia.

Hal-hal mutlak yang dimaksud oleh Notonagoro yaitu terdapatnya kodrat manusia yang dwi-tunggal atau monodualis  pada diri manusia. Hakikat dwi-tunggal  yaitu bahwa manusia tersusun atas tubuh dan jiwa sebagai kesatuan, sifat perseorangan dan makhluk sosial sebagai kesatuan, serta kedudukan kodrat pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan sebagai kesatuan (Notonagoro, 197:14). Dalam pengalaman hidup dapat kadang-kadang unsur-unsur masing-masing menurut keadaan, kebutuhan dan kepentingan keseluruhan negara, bangsa dan masyarakat serta rakyat lebih muncul atau lebih kuat menjelma daripada lainnya, akan tetapi dalam keadaan yang demikian itu satupun dari unsur-unsur lainnya tidak dapat dihilangkan, tidak dapat diabaikan (Notonagoro, 1971:15).

Kerangka pembaharuan sistem hukum dan peradilan secara umum menegaskan bahwa penegakan hukum harus menggunakan paradigma moral. Ketika paradigma kekuasaan memudar dan janji pemanfaatan paradigma hukum mulai menuai harapan sebetulnya bangsa ini perlu menindaklanjuti dengan meletakkan nilai-nilai dasar yang menjadikan acuan penyelenggara negara. Hal ini, seperti diungkapkan di muka, merupakan upaya menjaga kontinuitas dan kesinambungan agar “kegagalan” penggunaan paradigma hukum tidak menjadi legitimasi penggunaan paradigma kekuasaan kembali. Paradigma moral nampaknya dapat dijadikan alternatif yang baik bagi negara Indonesia, karena paradigma ini lebih cocok dengan budaya Indonesia yang menonjolkan ruang bebas konflik (Mulkan, Kompas: 1996).\

5. Implementasi Makna Pengawasan Hakim dalam Lembaga Peradilan Indonesia

Hakim secara fungsional merupakan tenaga inti penegakan hukum, dalam menyelenggarakan proses peradilan. Parameter mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan kredibiltas hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari campur tangan dari pihak lain dalam proses peradilan. Apabila para hakim terpengaruh oleh campur tangan pihak-pihak lain dalam menjalankan tugas wewenang yudisialnya, berarti hakim tersebut kurang atau tidakmandiri. Sebaliknya apabila hakim tidak terpengaruh dan dapat tetap bersikap obyektif, meskipun banyak tekanan psikologis dan intervensi  dari pihak lain, maka hakim tertsebut adalah hakim yang memegang teguh kemandiriannya.

Kegagalan lembaga peradilan di Indonesia dalam menjalankan prinsip  kekuasaan kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh apapun menjadi titik tolak atau fokus perhatian kenapa partisipasi publik dalam pengawasan hakim sangat mendesak dan penting. Dari hasil penelitian Daniel Kaufmann dijelaskan bahwa tingkat korupsi peradilan di Indonesia adalah yang paling tinggi diantara negara-negara yang berkembang lainnya seperti Ukraina, Venezuela, Rusia, Kolumbia, Mesir, Yordania, Turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan, Singapura dan lain-lain (LBH Jakarta, 2004: 17).

Pengawasan sebagai wujud checks and balances. Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dinyatakan bahwa menciptakan checks and balances dalam lembaga peradilan perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh masyarakat. Pengawasan mewujudkan prinsip good governance. Partisipasi publik dalam pengawasan hakim merupakan salah satu wujud penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance). Sebab menurut World Bank, beberapa karakteristik dari good governance adalah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif  yang bertanggungjawab, birokrasi yang profesional dan aturan hokum (Krina, 2003: 4).

Berkaitan dengan tugas pengawasan dalam rangka menjaga dan mene¬gakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, maka hakim dituntut untuk menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Selain tidak menodai kehormatan dan keluhuran martabatnya, seorang hakim harus menunjukkan perilaku berbudi pekerti luhur. Perilaku dapat diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.

Perilaku hakim dapat menimbulkan kepercayaan, tetapi juga menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada putusan pengadilan. Ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan pengadilan sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa putusan hakim sering dianggap tidak adil, kontroversial, bahkan tidak dapat dieksekusi secara hukum. Keadaan ini menuntut hakim harus sungguh-sungguh memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam rangka membangun dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat.

Komisi Yudisial memiliki tugas menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 13 huruf b Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004). Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan terhadap dugaan penyimpangan atau pelanggaran perilaku hakim, dan hasil pelaksanaan tugas Komisi Yudisial diajukan usul kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi agar dijatuhi sanksi.

Konstruksi perilaku hakim yang menunjukkan bahwa tameng independensi hakim tidak termasuk dalam ranah perilaku karena independensi hakim sebagai individu berada dalam pikiran dan nuraninya yang tercermin dalam putusannya. Namun, pikiran dan nurani hakim dalam suatu putusan pengadilan bukan berarti tanpa akuntabilitas hukum yang tidak bisa dikoreksi atau dinilai, melainkan terdapat mekanisme koreksi yudisial yang ditentukan berdasarkan Undang-undang, yaitu mekanisme banding, kasasi, peninjauan kembali, dengan prinsip bahwa putusan hakim selalu dianggap benar sebelum diputuskan berbeda oleh pengadilan yang lebih tinggi (res judicata proveritate hebeteur).

Penegakan hukum hanya dapat terlaksana apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga harmonisasi, keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sosial,  moralitas kelembagaan dan moralitas sipil yang didasarkan pada nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab, baik nasional maupun internasional. Dengan demikian kerjasama baik nasional maupun internasional sangat dibutuhkan tidak hanya untuk membuat rambu-rambu pergaulan baik nasional maupun internasional. Dalam kerangka inilah muncul kode etik (code of conduct) yang keberadaannya terlihat sebagai tuntutan nasional maupun internasional.

1.    Kesimpulan

Pengertian pengawasan hakim dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia memberikan pemahaman bahwa pengawasan hakim berorientasi kepada tujuan meningkatkan martabat hakim sebagai manusia dan lembaga peradilan yang berwibawa. Pengawasan berupaya membetulkan kesalahan arah yang terjadi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi hakim. Pengertian ini mengandung makna bahwa hakim adalah subjek hukum yang terkait erat dengan hakikat susunan kodrat manusia sebagai makhluk yang memiliki jasmani dan rohani.

Pancasila sebagai sistem filsafat bangsa memiliki hubungan esensial dengan pengawasan hakim. Nilai-nilai filsafat yang terkandung Pancasila merumuskan suatu idealitas yang mendasari pengawasan hakim di Indonesia. Oleh karena itu, setiap hakim di Indonesia harus mampu menunjukkan keluhuran budi dan tingkah laku yang mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai bagian dari pandangan ideologi berbangsa dan bernegara di Indonesia dengan tujuan untuk mewujudkan hakim Indonesia yang bermartabat.

Dalam konteks profesi dan institusi peradilan di Indonesia, pengertian pengawasan hakim adalah sebuah upaya untuk mewujudkan judicial accountability, yaitu berjalannya pengawasan terhadap badan peradilan, termasuk perilaku hakim. Implementasi makna pengawasan hakim pada lembaga peradilan Indonesia dalam konteks ini menunjukkan bahwa kedudukan hakim tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat yang mendambakan berlakunya supremasi hukum dan keadilan.

Hakikat pengawasan hakim berpengaruh dalam menegakkan objektifitas hukum yang harus diwujudkan melalui putusan-putusan hakim di lembaga peradilan. Putusan-putusan hakim bukanlah perwujudan aspirasi pribadinya dan bukan merupakan perwujudan dari pendirian pribadinya dan bukan pula merupakan penerapan filsafat pribadinya, melainkan perwujudan dari aspirasi, pendirian dan filsafat masyarakat pada waktu dan di mana putusan itu dijatuhkan.

Dalam kaitannya dengan implementasi makna pengawasan hakim, maka nilai-nilai Pancasila adalah dasar sekaligus tujuan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi hakim pada lembaga peradilan Indonesia. Tugas hakim dengan kebebasan yang dimilikinya harus dilengkapi dengan impartiality dan professionalism di bidangnya. Dengan demikian, aspek pertanggungjawaban, integritas moral dan etika, transparansi, imparsialitas, profesionalisme dan aspek pengawasan, merupakan rambu-rambu diakuinya kebebasan dan independensi hakim dalam mengemban tugas-tugas di lembaga peradilan. ***.

BIODATA
Nama
Drs. H. Sirajuddin Sailellah, SH., M.HI

Pangkat/Gol
Hakim Madya Pratama /Pembina (IV/a)
2009
Tempat/Tanggal Lahir
Sungguminasa, 13 Januari 1968

Pekerjaan
Hakim
1997-Skrg
Jabatan
Hakim Yustisial/Panitera Pengganti  Mahkamah Agung RI
2006-Skrg

Riwayat Pendidikan


SDN. Bontokamase Sungguminasa Kab.Gowa
1976-1981

SMP/MTS  Pesantren IMMIM Tamalanrea Makassar
1981-1984

SMA/Aliyah Pesantren IMMIM Tamalanrea Makassar
1984-1987

Fakultas Syariah IAIN Alauddin
1988-1992

Fakultas Hukum STIH Sengkang
1998-2002

Magister Hukum Islam UIN Alauddin
2000-2002

Program Doktor Fak. Filsafat UGM Jogjakarta
2008-2012

Riwayat Kepangkatan


CPNS/Calon Hakim  di PA Majene (III/a)
1993-1994

PNS/Calon Hakim di PA Palopo (III/a)
1994-2006

Hakim Pratama Muda PA.Watansoppeng (III/b)
1997-2001

Hakim Pratama Madya PA. Masamba (III/c)
2001-2004

Hakim Pratama Utama PA Jakarta Barat  (III/d)
2004-2009

Hakim Madya Pratama /Hakim Yustisial MARI(IV/a)
2009- Skrg

Pengalaman Jabatan


1.Hakim PA. Watansoppeng
2.Hakim PA. Masamba
3.Hakim PA. Jakarta Barat
2.Hakim Yustisial/Panitera Pengganti     Mahkamah Agung
1997-2001
2001-2004
2004-2006
2006-Skrg

Nama Orang Tua
Ayah
H. Sailellah Daeng Naba (Alm)

Ibu
Hj. Hadrah Daeng Tarring (Almh)


Keluarga

Nama Isteri
Dra. Hj. Sarbiati Saleng, SH, MH

Pekerjaan
Hakim 
1997 –Skrg
Unit Kerja
PA.Jakarta Utara
2010-Skrg

ANAK 4 ORANG :


1.Sardila Nurulhikmah Sailellah
  Palopo, 21 Maret 1995
Siswi SMU Al Azhar Jakarta

2.Sardini Sayyidatunnisa Sailellah
   Palopo, 7 Juni 1996
Siswi SMU Al Azhar Jakarta

3.Sardiansyah Khaerul Imam     Sailellah
Palopo, 23 Maret 1998
Santri Pesantren Darunnajah Jakarta

4.Radiat Ulil Azmi Sailellah
Santriwati Pesantren Darunnajah Jakarta
Organisasi sosial kemasyarakatan


1.Mantan Ketua Remaja Masjid Nurul Iman Jl. Malino
1987-1990

2.Pelatih Black Phanter Karate Unit UIN Alauddin Makassar
1987-1992

3.Ikatan Hakim Indonesia
1997-Skrg

4. Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sul-Sel (KKSS)
2005

3.Ketua DKM Masjid Jami Al- Amin Bekasi utara
2005-Skrg

4.Dewan Penasehat RW 022 Bekasi Utara Kota Bekasi
2009-Skrg

5. Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia
2009

Pengalaman Mengajar


1.    Pengajar Hukum Acara Perdata Agama pada Diklat Pendidikan Khusus Advocat Yan Apul
2.    Pengajar Hukum Acara Perdata Agama pada Diklat Pendidikan Khusus Advocat FHP
3.    Pengajar Sistem Hukum Indonesia pada Universitas islam “45  Bekasi
4.    Pengajar Hukum Acara Perdata Agama Diklat Pendidikan Khusus Advokat Mabes Polri
5.    Dosen Luar Biasa fakultas Hukum YARSI Jakarta
6.    Dosen Luar Biasa fakultas Ilmu Sosial Politik Unisma Bekasi
7.    Pemateri Hukum Keluarga In House Training PT Jasa Raharja
2006 s/d Skrg
2008 s/d Skrg
2009 s/d skrg
RIWAYAT PENDIDIKAN DAN LATIHAN


1.      Pendidikan Calon Hakim  (1993)
Jakarta

2.      Latihan Pra Jabatan Tk III (1994)
Jakarta

3.      Pelatihan Tehnis Yustisial (1998)
Makassar

4.      Pelatihan Sertifikasi Mediator (2009)
Bogor

PIAGAM PENGHARGAAN


1.      Satya Lencana Kesetiaan  10 Tahun Republik Indonesia
2007

2.      Piagam Penghargaan Mahkamah Agung RI
2009

1 komentar: